Panduanrakyat
Uncategorized

Satpol PP Segel Gedung PWI Sulsel, PWI Pusat Turun Tangan, Intip Sejarahnya

PANDUANRAKYAT, JAKARTA-Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mengecam tindakan Satpol PP Sulsel kerena menyegel paksa Gedung PWI Sulsel di Jalan AP Pettarani Kota Makassar yang dilakukan pada Rabu, 25 Mei 2022.

Tindakan ini dinilai mempermalukan PWI.

Ketua Umum PWI Pusat, Atal S Depari menegaskan, mengusik keberadaan PWI di daerah sama saja dengan mengganggu organisasi PWI secara nasional. Apalagi PWI Sulsel punya dasar hak menempati gedung PWI Sulsel yang berada di Jalan AP Pettarani Nomor 31 Makassar.

Ditegaskannya, Surat Keputusan (SK) Gubernur Provinsi Sulsel yang memberikan hak pemanfaatan lahan dan gedung harusnya dihargai Pemprov, sebab SK tersebut belum dicabut sampai saat ini. 

“Kami akan urus ini. PWI akan mencari jalan terbaik agar tidak ada tindakan merugikan PWI Sulsel. Kami akan komunikasikan ini dengan Kemendagri, ini tidak boleh dibiarkan,” tegasnya saat memimpin rapat khusus membahas masalah PWI Sulsel yang sudah menjadi keprihatinan dunia pers secara nasional di Ruang Rapat PWI Pusat, Jakarta, Jumat (10/6/2022).

Atal menegaskan, sesuai dengan pendalaman PWI Pusat atas masalah ini, terlihat ada upaya yang terkesan dipaksakan karena proses-proses yang berjalan antara PWI Sulsel, DPRD Sulsel, dan pihak Pemprov masih berjalan untuk mencari titik tengah yang tidak merugikan semua pihak. 

“Harusnya kan bisa dengan cara-cara elegan. Kami terus terang prihatin dengan perlakuan Satpol PP atas gedung PWI Sulsel,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Ilham Bintang mengatakan, langkah penyegelan jelas sebuah pelanggaran. Harusnya menurut Ilham, kalau ada anggapan PWI Sulsel melakukan pelanggaran, mestinya dibicarakan tersendiri. Tidak serta merta melarang kegiatan PWI Sulsel.

“Sekarang saya mau tegaskan, ini adalah persoalan PWI Pusat juga, kami akan ambil alih ini persoalan dengan tetap berkoordinasi dengan pengurus PWI Sulsel,” tegasnya.

Ilham Bintang juga mendesak pihak Pemprov melalui Satpol PP untuk segera meniadakan pagar kawat yang dipasang di depan Press Club PWI Sulsel. Alasannya, komunikasi akan sulit terbangun dengan  baik, jika ada tindakan yang menggangu aktivitas PWI.

“Intinya cabut dulu pagar kawat duri itu, tidak enak sekali dilihat,” imbuhnya.

Secara hukum, lanjut Ilham, SK Gubernur Sulsel perihal hak pemanfaatan dan penggunaan lahan dan gedung PWI Sulsel sudah cukup jelas.

“Ini masih belaku dan sah karena tidak pernah dicabut. Mari kita hargai ini. Soal ke depannya nanti dibicarakan bagaimana model kesepahamannya,” kata Ilham.

Selain itu, Ilham Bintang menyebutkan PWI Pusat akan tetap berjuang agar PWI Sulsel bisa tetap menggunakan gedung di Jalan AP Pettarani sesuai peruntukannya. Tetapi apabila Pemprov berkeras harus diambil gedung itu, maka harus dibicarakan bagaimana taksasi penggantian atau kompensasi atas hak PWI.

“Ini tentu opsi-opsi yang bisa diambil nanti,” urainya.

Sementara itu, Ketua Tim Hukum PWI Sulsel, Arman Sewang mengatakan, upaya duduk bersama sebenarnya sudah diupayakan PWI dengan melibatkan DPRD Sulsel.

“Karena ini produk DPRD yang ditindaklanjuti SK Gubernur Sulsel. Hasil pertemuan terakhir di DPRD Sulsel pada Kamis, 9 Juni juga sudah disepakati akan ada langkah-langkah duduk bersama mecari solusi atas masalah ini dalam waktu 30 hari kerja ke depan,” jelas Arman.

Arman juga sangat mengapresiasi PWI Pusat yang menentukan sikap secara tegas akan membantu PWI Sulsel sebagi bagian dari PWI Pusat keluar dari masalah ini.

“Sekarang kami tunggu langkah-langkah PWI Pusat setelah memastikan akan turun tangan. Selain itu, komunikasi PWI Sulsel dengan Pemprov Sulsel tetap akan dilakukan,” tutup Arman.

Diketahui, polemik penyewaan gedung PWI dan Pemprov Sulsel bersoal sejak lama. Peneliti Pusat Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patria Artha bahkan pernah mengkaji kasus ini.

Sejarah Pengelolaan Gedung PWI

Ketua Peneliti Senior Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Patri Artha (UPA) Bastian Lubis  menceritakan awal mula kasus tersebut. Kata Bastian, masalah PWI dan Pemprov diawali oleh ruislag atau tukar guling tahun 1995.

Pada mulanya, gedung Balai Wartawan beralamat di Jalan Penghibur Nomor 1, Makassar, bernama Gedung Gelora Pantai. Gedung itu dimiliki oleh Perusda Bank Pembangunan Daerah (BPD) Sulsel.

Pada tahun 1968, Gubernur Sulsel meminta wartawan membicarakan perpindahan kantor PWI ke gedung milik BPD. BPD menyetujui perpindahan dengan syarat PWI harus membayar ganti rugi Rp5 juta.

PWI pun menyanggupi pembayaran ganti rugi tersebut. Uang yang dipakai membayar merupakan hibah dari Pemprov Sulsel kepada PWI melalui persetujuan DPRD.

“Karena dana yang diberikan dalam bentuk hibah dan telah dibayarkan ke BPD Sulsel. Ini berarti gedung di Jalan Penghibur tersebut adalah sepenuhnya milik PWI Sulsel dan tidak ada lagi hak pemprov di dalamnya,” kata Bastian melansir Suarasulsel.id

Masalah muncul ketika pada tahun 1995, Gubernur Sulsel yang saat itu dijabat oleh HZ Basri Palaguna menerbitkan surat permohonan Tukar Menukar/Ruislag Tanah dan Bangunan Balai Wartawan Ujung Pandang kepada Pihak Ketiga CV. Sari Jati Raya.

Ruislag dilakukan dengan lokasi yang terletak di Jalan AP. Pettarani, lokasi berdirinya Gedung PWI saat ini.

Di sisi lain, lanjutnya, ruislag tersebut ternyata dilakukan dengan lahan milik Pemprov Sulsel sendiri, dan bukan milik CV. Sari Jati Raya sebagai pihak ketiga.

Kepemilikan lahan di Jalan AP Pettarani tersebut oleh Pemprov Sulsel, dibuktikan dengan tiga sertifikat, yaitu pada tahun 1985, 1987, dan 1992, dan tercatat dalam neraca aset Pemprov Sulsel.

Pada tahun 1997, akhirnya terbit Berita Acara Gubernur Sulsel nomor 593.5/1756/BP, perihal penandatanganan bersama antara Gubernur Sulsel dengan Ketua PWI Sulsel atas Penyerahan Tanah dan Bangunan milik Pemprov Sulsel untuk dimanfaatkan sebagai Gedung Balai Wartawan Ujung Pandang, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulsel Nomor: 371/III/1997 tanggal 31 Maret 1997.

Pada titik ini, kata dia, PWI telah kehilangan asetnya yaitu gedung dengan tanah seluas 1.119 meter persegi di Jalan Penghibur Makassar, yang nilainya saat ini diperkirakan telah mencapai Rp56 miliar.

Saat ini, polemik Gedung PWI masih berputar pada masalah tidak disetorkannya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp1,6 miliar ke kas negara.

Padahal, menurut Bastian, ada masalah yang lebih besar di situ, yaitu hilangnya aset PWI dengan nilai yang jauh lebih besar.

“Telusuri gedung yang hilang, ini ada kesengajaan di pemprov yang jadi korban PWI karena asetnya hilang akibat ruislag,” ungkapnya. (*)