PANDUANRAKYAT, JAKARTA – Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki wilayah perairan yang lebih luas dari daratan.
Dengan kondisi geografis tersebut, sebagian budaya Indonesia tidak lepas dari kebudayaan masyarakat yang terpusat di daerah pesisir dan lautan.
Tentunya, kebudayaan masyarakat tak hanya tumbuh dan berkembang di pulau-pulau besar, namun juga pada pulau-pulau kecil, bahkan ada juga yang bermukim di atas lautan.
Hal demikian terkadang menimbulkan problematika tersendiri baik secara hukum, pembangunan, perputaran ekonomi, hingga pengakuan atas tanah.
Dalam menjawab tantangan tersebut, sebagai komitmen merealisasikan Reforma Agraria yang merupakan Program Strategis Nasional (PSN), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) akan menyelenggarakan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2022 di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) pada Juni mendatang.
GTRA Summit 2022 ialah bentuk kolaborasi lintas sektor antara Kementerian ATR/BPN dengan berbagai instansi pemerintahan dan lembaga lainnya, demi terlaksananya penataan pertanahan dan ruang di wilayah pesisir serta pulau-pulau kecil di Indonesia.
Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Surya Tjandra mengungkapkan, penyelenggaraan GTRA Summit 2022 ini juga sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan dalam memeriahkan Presidensi G20.
“Yang Presiden inginkan dalam rangka G20 ini adalah apa yang tangible, apa yang konkret. Ini tawaran yang direspons lewat GTRA Summit 2022 ini,” sebut Surya Tjandra dalam rapat persiapan GTRA Summit 2022 dengan agenda serap aspirasi isu kepulauan dan pesisir yang berlangsung secara daring, Senin (25/04/2022).
Dalam puncak kegiatan GTRA Summit 2022 nanti, Presiden Joko Widodo rencananya akan membagikan sertifikat kepada masyarakat suku Bajo di Desa Mola, Kabupaten Wakatobi yang selama ini hidup dan beraktivitas di atas lautan.
Hal ini merupakan sebuah terobosan baru pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), di mana selama ini masyarakat suku Bajo tidak memiliki kepastian hukum atas tempat tinggal mereka yang tak bersentuhan langsung dengan tanah.
UUCK telah membuka peluang pemberian Hak atas Tanah bagi masyarakat pemukim di atas air setelah memperoleh perizinan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Surya Tjandra berharap, dengan rencana dibagikannya sertifikat tanah bagi masyarakat suku Bajo di Desa Mola, Wakatobi menjadi titik awal kepastian hukum bagi seluruh masyarakat perairan dan pesisir lain yang hidup, tumbuh, dan berkembang di atas lautan Indonesia.
Sehingga, tujuan pemerintah dalam pemerataan pembangunan serta kebangkitan ekonomi yang merata bisa terwujud.
“Kita bisa buat terobosan seperti ini di Sulawesi Tenggara, dan harapannya tidak berhenti di sini. Di seluruh wilayah yang memiliki masyarakat adat, tradisional, lokal yang tinggal di atas perairan itu bisa mengikuti perkembangan yang ada di Wakatobi,” ucap Surya Tjandra.
Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi yang juga berperan sebagai Ketua Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan menyambut baik terobosan yang dilakukan oleh Kementerian ATR/BPN ini.
“Mudah-mudahan kegiatan yang kita lakukan bisa jadi kebanggaan masyarakat seluruh Indonesia karena ini adalah hal baru. Saya kira ini setelah di Wakatobi seluruh daerah bisa mengikuti,” ujar Ali Mazi.
Adapun kegiatan ini turut dihadiri oleh Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN, Andi Tenrisau; Perwakilan pemerintah daerah dari Provinsi Kepulauan, yaitu Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara ditambah dua provinsi yang memiliki perhatian khususnya terkait isu masyarakat adat, yakni Papua dan Papua Barat; serta Kepala Kantor Wilayah BPN dari daerah-daerah tersebut. (JM/RH)
Sumber: Humas ATR/BPN