PANDUANRAKYAT.COM- KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan Bupati Bogor Ade Yasin dan beberapa pihak dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Barat.
Kasus ini menjadi lebih ironi, apa yang terjadi pada Ade Yasin seakan peristiwa ‘dejavu’ jejak kakaknya Rahmat Yasin dalam jabatan yang sama berujung ditangkap KPK.
Pun juga dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kasus korupsi seperti ini pernah terjadi di tahun 2017, kala KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pegawainya dan Pejabat Inspektorat Jenderal (Irjen) Kementerian Desa (Kemendes).
Hal ihwal, OTT itu terkait pengurusan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Karenanya dalam sejumlah kesempatan masih ditemukan situasi anomali meski gelar WTP ‘disabet’ Pemerintahan daerah, kementerian/lembaga, namun ternyata masih terjadi korupsi dan skandal keuangan di dalamnya.
Dalam dimensi yang lain namun tetap dalam cita rasa yang sama, Wali Kota Bekasi saat dijabat Mochtar Mohammad diduga telah memerintahkan pemberian uang kepada pihak Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk memenangkan piala Adipura.
Adipura, diberikan dalam upaya mendorong setiap kota/kabupaten maupun provinsi untuk memperbaiki kualitas lingkungan seperti yang ada dalam UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan.
Dalam UU tersebut menyebutkan adanya reward bagi yang lingkungannya baik.
Dari peristiwa di atas ternyata sejumlah kementerian, lembaga dan pemerintah daerah belum banyak belajar atas apa yang menimpa organisasinya di masa lalu, gagal menghadirkan kepemimpinan yang bersih didukung dengan tata kelola yang terstruktur dan akuntabel.
Kemudian juga gagal karena telah menempatkan reputasi sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan, bukan sebagai aset yang tidak nyata (intangible asset) dan sangat berharga dalam membangun persepsi publik yang positif terhadap organisasi.
Peristiwa penangkapan ini tentu saja membuat kita prihatin dan mengelus dada, karena target menggapai sesuatu yang baik namun ditempuh dengan cara yang tidak elok. Ibarat menggapai juara kelas dengan mencontek dan berlaku curang.
Hulu gagasan dan implementasi hilir terjadi ketidakselarasan atau dis-koneksi. Hal ini terjadi karena budaya serta nilai organisasi tidak diadopsi oleh aparatur untuk menghasilkan reputasi yang positif hingga pada akhirnya harus berujung pada kekecewaan masyarakat.
Dari gambaran di atas, kita patut menduga sejak awal banyak pemerintah daerah menargetkan WTP bukan semata menghadirkan good and clean government, namun jauh di ujungnya berorientasi pada akses anggaran (budget orientation) seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Alokasi Umum (DAU) yang lebih besar.
Baca juga: 10 Kepala Daerah Tersangka Korupsi Dapat Opini WTP dari BPK
Tidak cukup sampai di situ, bahkan seringkali pencapaian WTP digadang-gadang sebagai kampanye politik dengan harapan dapat meningkatkan reputasi kandidat tertentu.
Reputasi berbasis korupsi
Sejatinya reputasi adalah hal rapuh (fragile) yang tidak bisa menoleransi kesalahan. Terlebih saat ini ketika teknologi informasi komunikasi (ICT) mendorong pesan diproduksi jauh lebih cepat dan massif, ‘cela’ sedikit akan menjadi berita hingga tersebar luas (viral).
Oleh karena itu, dalam perkembangan reputasi bukan hanya perlu ditumbuhkan, namun dirawat dan dikembangkan.
Atas dasar itu berarti organisasi pemerintah harus melakukan segala upaya untuk mempertahankan kualitas layanan dan kebijakan yang dibuat, membangun publisitas positif, serta terus mengingatkan publik akan keberadaan mereka.
Namun dalam perkembangannya masing-masing instansi pemerintah seakan dibebani usaha kecil atau besar dalam berkompetisi untuk membuktikan menjadi yang terbaik.
Dengan mengajukan penghargaan, organisasi memperoleh kesempatan secara resmi diakui oleh publik dan instansi lain, yang membawa reputasi ke tingkat yang sama sekali baru. Selaras dengan hal tersebut dalam bidang pemerintahan ada banyak penghargaan yang menawarkan salah satu pendekatan paling kreatif dan efisien untuk membangun pengakuan.
Dari mulai penghargaan yang sebatas pengakuan hingga berkonsekuensi penambahan anggaran.
Dalam memahami pentingnya reputasi sejumlah pimpinan organisasi pemerintah, terlebih kepala daerah alih-alih membangun strategi komunikasi yang terukur dan terencana justru mencoba menggunakan pendekatan kerja apa pun yang membantu meningkatkan pengakuan dengan cara pintas dan ‘jalan tikus’.
Dari sanalah metode “pokok”-nya muncul; pokoknya menang, pokoknya terlihat, pokoknya hebat. Meski harus jalan korupsi bahkan menyuap lembaga pemeringkat.
Reputasi organisasi pemerintah sejatinya dibangun dari tiga pilar dasar, yaitu personal, identitas dan citra. Sebuah proses yang harus ditempuh dengan komitmen dan konsisten, bukan tiba-tiba muncul dalam benak publik tanpa perencanaan.
Penting bagi organisasi pemerintah mengokohkan personal organisasi (organization personality) terkait visi dan misi, budaya/nilai inti, tujuan dan implementasi. Selain itu harus memperkuat identitas organisasi (organization identity) yang terdiri atas branding, produk, perangkat komunikasi, dan lingkungan. Terakhir, meningkatkan citra organisasi (organizational imaged) di antaranya seperti costumer image, community image, investor image, dan bureaucrat image.
Reputasi dan gap realitas
Mengelola reputasi secara efektif bagi organisasi pemerintah harus dimulai dengan menyadari bahwa reputasi adalah masalah persepsi. Persepsi dari berbagai pemangku kepentingan seperti investor, masyarakat, penyedia barang dan jasa, birokrat, regulator, politisi, organisasi non-pemerintah, dan komunitas.
Menukik lebih tajam reputasi organisasi pemerintah juga dilihat dari kualitas program atau kebijakan yang dibuat seperti tata kelola pemerintahan, hubungan dengan media, layanan kepada masyarakat, modal intelektual, kinerja keuangan, hingga penanganan masalah lingkungan dan sosial.
Reputasi positif yang kuat di antara para pemangku kepentingan di berbagai kategori akan menghasilkan reputasi positif yang kuat bagi organisasi pemerintahan secara keseluruhan.
Ketidak sesuian (misalignment) antara citra dengan budaya organisasi (image-culture gap) akan membuat stakeholders mempertanyakan kinerja (what a organization stands for) dan akuntabilitasnya.
Perubahan keyakinan dan harapan pemangku kepentingan merupakan penentu utama risiko reputasi lainnya. Ketika ekspektasi berubah dan karakter organisasi tetap sama, kesenjangan reputasi dengan realitas melebar dan risiko meningkat. Reputasi berbeda dari karakter atau perilaku organisasi yang sebenarnya, mungkin lebih baik atau buruk.
Ketika reputasi organisasi pemerintah lebih positif daripada realitas yang mendasarinya, kesenjangan ini menimbulkan risiko besar. Akhirnya, kegagalan organisasi pemerintah untuk memenuhi harapan publik akan terungkap dan reputasinya akan menurun sampai lebih sesuai dengan kenyataan. “Dibutuhkan banyak perbuatan baik untuk membangun reputasi yang baik dan hanya satu perbuatan buruk untuk menghilangkannya,” kata Benjamin Franklin.
Sumber: Kompas.com