Panduanrakyat
Opini

Koja-koja Pilkada, dari Lipu sampai Lippo, dari Palatiga sampai Palabusa

Oleh:
Andi Arya Maulana Wijaya

Dosen Fisip Universitas Muhamadiyah Buton (UMB)

BAUBAU, PANDUANRAKYAT.COM – Sepanjang mulainya tahapan pilkada tahun2024 di Kota Baubau, hingga kini tak lebih sebulan lagi proses pemungutan suara dilangsungkan, pembicaraan tentang sosok yang digadang-gadang bakal memenangkan kontestasi belum mengerucut pada satu pasangan calon. Lalu, bagaimana dinamika pembicaraan tersebut di masyarakat kita? Tulisan ini mencoba menyajikan remah-remah observasi yang dilakukan untuk mendokumentasikannya.

Barangkali, hal paling asyik bagi sebagian besar masyarakat Kota Baubau saat ini adalah tentang siapa calon wali kota yang ideal. Diskusi atau lazim disebut Koja-Koja ini, pada waktu siang, malam bahkan ketika waktu senggang, tak pernah jauh dari bertukar pendapat tentang pemilihan wali kota pada tanggal 27 November 2024 mendatang, ini juga menjadi sarana masyarakat untuk menentukan pilihannya dengan mantap.

Mulailah coba menelusuri, dengan berjalan dari ujung Selatan hingga ujung Utara kota, lalu berputar dari bagian Timur hingga wilayah Barat Kota Baubau. Kemudian singgahlah barang sebentar dan ikut dengar-dengar, namun tidak bermaksud untuk kepo atau fomo kata anak gen-z, akan tetapi untuk sekedar observasi. Kenyataanya hampir semua kerumunan di depan warung, di gode-gode, di pasar, terminal, ruang publik, pangkalan ojek, hingga sudut perempatan yang riuh dengan jualan casing HP itu, sesekali terlihat masyarakat asik dan seru membahas tahapan Pilkada saat ini.

Dalam teori komunikasi politik terdapat alasan yang membuat perilaku pemilih dapat berubah dengan cepat, dari ragu menjadi mantap, dari banyak pilihan menjadi tersisa satu. Pendapat itu disebut kekuatan media priming bahwa individu (voter) tidak dapat memperhatikan dengan baik semua pilihan, daripada menganalisis semua kontestan secara seksama maka voters akan lebih mengandalkan figur yang paling mudah diakses (Perloff, 2014). Oleh karenanya, perlu untuk menyimak ramainya koja-koja ini, dengan begitu kita memiliki gambaran atas pandangan masyarakat terhadap para pasangan calon walikota yang berkontestasi dalam Pilkada Kota Baubau.

Tema obrolan berkisar pada karakteristik pasangan calon (paslon) yang lazim mudah ditemukan oleh warga kota kepada sejumlah paslon. Meski kadang-kadang sangat kritis, namun juga sering disela oleh candaan khas masyarakat. Sekiranya, karakter paslon yang didekatkan oleh obrolan masyarakat pada sisi tampilan paslon, riwayat, hingga modalitasnya. Misalnya adalah paslon yang erat pada kepemilikan modalitas ekonomi yang bombastik, melalui label sebagai pengusaha sukses dengan finansial yang cukup namun pengalaman birokratis yang sedikit dan tak jarang terus dipertanyakan.

Bagi tipikal pemilih rasional, pengalaman akan sangat menentukan, ketimbang niat suci yang mana ujug-ujug mencalonkan diri jadi wali kota. Ada juga paslon wali kota yang memiliki kedekatan tertentu pada nama besar seseorang, meski jarang terlihat sebelumnya pada ruang publik, apalagi mencermati wawasannya dalam manajemen pemerintahan yang masih sulit teridentifikasi, bahkan sekedar kemampuan berbicara di depan khalayak terlihat tidak kompeten serta kurang meyakinkan masyarakat. Ada juga paslon yang dilekatkan secara kritis oleh masyarakat, yakni melalui figur yang masih diragukan untuk menjadi pemberi solusi atas masalah yang dihadapi masyarakat.

Hal ini wajar saja, mereka mengamati karena rekam jejak sang paslon yang senantiasa akrab dengan masalah dan belum mampu menyelesaikannya, istilahnya di mana dia berada selalu diikuti masalah. Sementara, ada paslon lain dipandang sebagai orang yang kurang memiliki kapasitas dan pengalaman pemerintahan, bahkan dinilai tidak memiliki rekam jejak kepedulian kepada sebagian besar masyarakat akan tetapi, menjadi begitu sosial dengan menyediakan makan cuma-cuma setelah mendekati pelaksanaan pilkada atau mungkin karena ada maunya. Sedangkan, ada pula paslon yang justru didiskusikan sebagai berpengalaman, akan tetapi ditafsirkan sosok yang kompeten tapi tidak memiliki finansial jika dibandikan paslon lainnya. Nampaknya, logika tanpa logistik masih begitu erat pada potret kontestasi hingga hari ini di mata masyarakat kita.

Meski demikian, dalam politik “pameo” akan selalu ada. Melalui rangkaian topik koja-koja tersebut ternyata jika ditelisik cukup bervariasi. Dimana, perlu diakui bahwa kata kunci seperti kekuatan finansial, figur kandidat, mesin politik, dan kedekatan paslon dengan masyarakat kota sebagai pemilih, juga lebih banyak dibahas, hal ini sebagai bukti adanya kedewasaan politik di tingkatan masyarakat Kota Baubau. Topik lain tentu saja ada, tapi tidak jauh menyangut hal-hal sebagaimana tersebut di atas. Pertanyaan akademisnya adalah, adakah relevansi topik pembicaraan dan sejumlah faktor-faktor penentu kemenangan paslon dalam kontestasi pemilihan Wali kota Baubau yang sebentar lagi ini?

Nampaknya, ada simpulan yang cukup beralasan bahwa masyarakat Kota Baubau ternyata relatif lebih “dewasa berpolitik”, jika dibandingkan dengan pengamatan terhadap kedewasaan berpolitik daerah kabupaten-kabupaten lainnya yang lebih cenderung pada budaya politik tradisional yang umumnya berciri transaksional.

Hal ini ditunjukkan, sebagian besar masyarakat tidak begitu mempertimbangkan bahwa faktor “money” sebagai kekuatan penentu kemenangan paslon. Kedewasaan politik ini, diwarnai dengan diskusi yang lebih didominasi oleh topik tentang sosok seorang kandidat, seperti pengalaman, serta kedekatannya dengan masyarakat. Boleh jadi, kekuatan figur seorang kandidat dipandang lebih menentukan kemenangan ketimbang sekedar potensi kalkulasi “material”, untuk memperhalus istilah money politics, melalui perbandingan paslon satu dengan paslon lainnya.

Jika meninjau kajian akademik pada gelaran politik praktis serta sejumlah studi mengenai faktor penentu kemenangan dalam kontestasi politik, sebagaimana pemilu yang lalu, dan dengan mencoba mencermati topik koja-koja tersebut menemukan hubungan praktisnya.

Mendukung hal ini sejumlah studi ahli, menjelaskan bahwa terdapat faktor-faktor determinant kemenangan seseorang dalam sebuah kontestasi politik, bahwa tidak senantiasa disebabkan satu faktor dominan yakni uang di posisi pertama, melainkan terdapat faktor teknis lainnya, seperti di bawah ini:

Pertama, Figur Kandidat. Faktor ini dinyatakan paling menentukan, yang meliputi rekam jejak (track record), pemahaman kandidat atas karakter dan budaya masyarakat di mana kontestasi berlangsung, dan apakah kandidat dikenal sebagai sosok orang baik pula. Kedua, Mesin Politik. Faktor yang meliputi militansi partai politik pengusung, tim pemenangan hingga jaringan relawan yang solid, militan, dan bekerja sungguh-sungguh dalam melakukan penggalangan pemilih.

Ketiga, Kedekatan Kandidat dengan Konstituen. Ini menyangkut popularitas kandidat karena dikenal memiliki hubungan dekat dengan Masyarakat pemilih. Keempat, Visi/ Misi dan Program, atau solusi berbasis pengetahuan kandidat yang dapat ditawarkan kepada Masyarakat. Kelima, faktor lain seperti kekuatan finansial, manajemen tim pemenangan, dan faktor teknis lainnya.

Nampaknya tulisan ini mengakui bahwa, potensi figur paslon yang dikenal dekat dengan masyarakat dan tidak ragu untuk berdiskusi dialogis dengan masyarakat, adalah paslon ida-man yang bakal dipilih, ketimbang paslon yang hanya sekedar sere-moni saja. Pada titik ini kita menjadi paham mengapa lebih banyak masyarakat Kota Baubau yang begitu memperhatikan figur paslon yang terus diamatinya. Kemudahan masyarakat menangkap isyarat pada sosok paslon dengan mudah, akan sangat mempengaruhi ke-mantap-an pada satu paslon pilihannya nanti.

Ada satu pertanyaan yang cukup strategis dari seorang masyarakat dalam salah satu koja-koja: “Kalau menurut kita, mo-di serahkan kepada siapa Kota Baubau untuk 5 tahun kedepan kah?”.

Studi menyatakan bahwa pemilih membutuhkan referensi berupa alasan yang mudah mereka temukan, untuk dapat menentukan satu paslon pilihan mereka. Dengan kata lain, pemilih menyandarkan memilih atas dasar figur paslon yang dipandang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang handal, serta paham terhadap rangkain proses tata kelola pemerintahan, serta memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk Pembangunan Kota Baubau 5 tahun ke depan.

Dengan begitu, sejumlah alasan tersebut itulah yang akan turut mempengaruhi preferensi masyarakat kota dalam menentukan siapa paslon pilihan idaman mereka. Perbandingan figur paslon dalam konteks yang sederhana membuat koja-koja yang dilakukan masyarakat kota menjadi hal menarik untuk ditarik satu simpul menarik.

Jika kemudian boleh memilih pada satu kepopuleran satu figur, barangkali kita kemudian mengerti mengapa masyarakat kota, lebih memberi atensi lebih ketika memandang kekuatan figur seorang La Ode Ahmad Monianse atau mereka akrab menyebut Moni, tampaknya masyarakat dengan lebih mudah utntuk membongkar dan memaparkan rekam jejak kandidat yang satu ini.

Tentunya, oleh karena kedekatan figur ini dengan masyarakat membuat mereka mudah menemukan topik untuk dapat dijadikan bahan diskusi. Sebagaimana halnya, pada seorang bapak setengah baya yang pada koja-koja santai menunggu penumpang di pangkalan ojek, berkata “memang sejak usia muda, La Moni ini sudah sa sering lihat dia itu peduli dengan masyarakat sekitarnya, bahkan waktu ketika da jadi aktivis juga begitu”.

Seorang anak muda berjaket hijau disebelahnya, ikut nimbrung komentar: “Saya tahu dia itu (moni) sudah pengalaman lama di LSM apa kah itu?”, terus kalau dulu juga program-programnya dia itu boleh bilang sangat peduli dengan masyarakat kecil, misalnya itu dalam hal penyediaan air bersih, bantu pengobatan orang tidak mampu, sama aktivitas sosial lainnya juga”.

Selain itu, pada observasi dalam potongan sebuah koja-koja, seorang ibu penjual sayuran sembari menunggu pembeli dengan bersemangat mengatakan: “Kalau saya toh, mereka ini (5 paslon calon walikota Baubau), Moni saja mi yang sudah pengalaman dia dalam pemerintahan, dia pernah jadi anggota dewan sama da jadi walikota itu”.

Lalu seorang bapak berkumis tebal, sambil memegangi ember jualan ikut berkomentar dan mengatakan, “Kalau kita itu pak, yang penting ta percaya sama pejabat itu, soalnya sulit mi cari yang begitu, banyaknya itu pejabat yang bikin kepercayaan masyarakat seringkali hilang, karena begitu tidak satu antara perkataan dan perbuatan”. Karena berkomentar seperti itu, semua orang disekitar situ mulai mulai serius memperhatikannya. Bapak itu lalu melanjutkan,” Nah, setahu saya Pak Moni inilah masih selalu konsisten apa perkataan dan perbuatannya! seperti dia pernah bilang itu, kalau dia tidak akan menggunakan Bandara Betoambari jika masalah hak pemilik tanah disitu tidak diselesaikan, dan setahu saya selama itu juga hingga sekarang dia tidak pernah menggunakan bandara itu nah!”.

Rangkaian Koja-koja masih terus berlangsung di berbagai tempat, menelusuri Lipu hingga Lippo, serta menjamah daerah Palatiga hingga Palabusa, mampu membuat simpul benang merah alasan ketertarikan masyarakat atas kefiguran paslon wali kota Baubau mulai jelas terlihat. Masyarakat secara jamak memahami bahwa, menjadi Wali kota berarti juga adalah kuasa pengambil kebijakan didaerah, maka ketika keliru dalam mengambil kebijakan efek yang paling dahulu merasakannya adalah masyarakat kota itu sendiri.

Secara sederhana, benang merah dari koja-koja beberapa masyarakat di beberapa tempat ini, mengerucut pada pendapat bahwa kematangan pribadi Monianse dalam mengambil keputusan-keputusan strategis, selama hampir 2 tahun menjadi Walikota Baubau sudah cukup bagi beberapa masyarakat tersebut memiliki harapan pada sosok paslon yang senantiasa tanpa sekat dengan masyarakatnya.

Bahkan, Seorang Ibu yang tengah menggendong anaknya, sembari memilih tomat dan kangkung dihadapannya, ikut menyumbang pendapat dengan mengatakan: “Kalau saya itu realistis saja, saya tidak mau pilih calon wali kota yang kita masih mau tanya dia mau kerja apa, atau dia punya kapasitas dan pengalaman apa di Kota ini, sama saja kita membeli kucing dalam karung itu”, tegas.

Pada akhirnya, kapasitas seseorang dalam tata kelola pemerintahan, sektor publik dan pembangunan daerah, akan senantiasa bersisian dengan pengelolaan bisnis perusahaan (sector private), meski demikian dalam sektor publik lebih menekankan pada kepercayaan publik, dan tidak semata-mata mengandalkan relasi transaksional saja, membandingkanya hanyalah pameo yang jauh panggang dari api, berjarak seperti bumi dan angkasa.

Jika yang sektor publik, semangat utamanya adalah pelayanan publik dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat; sedang sektor private lebih menitikberatkan pada transaksi keuntungan maksimal. Idealnya adalah jika pejabat publik akan lebih mempertimbangkan dampak suatu kebijakan kepada kesejahteraan masyarakat, sedang pemimpin perusahaan menambahkan transaksi material finansial sebagai hasil akhirnya.

Nampaknya narasi ini akan membawa pada pertanyaan kolektif, bahwa secara konseptual diskursus topik koja-koja membawa simpul bahwa paslon dengan rekam jejak yang lengkap, kompeten, memiliki kapasitas dan wawasan yang luas dan dapat dipercaya perkataannya, serta berani mengambil resiko untuk masyarakatnya, adalah konsep pemimpin idaman seluruh masyarakat.

Namun kini, pilihan berada ditangan masyarakat, bukan sekedar hasil koja-koja ataupun diskusi semata, akan tetapi sebagai alasan mantapnya masyarakat pada satu pilihan paslon walikota di tanggal 27 November nanti, untuk masa depan pembangunan masyarakat kota Baubau selama 5 tahun ke depan. Sudah menetapkan mantap memilih satu paslon? atau kita perlu membuka ruang koja-koja kembali pada sisa waktu tahapan pilkada ini? (*)